Menyelami Ke-egoisan Manusia



“As Much As We Thirst For Approval, 
We Dread Condemnation.”
(Carinege, Penulis How To Win Friends And Influence People


B
uku adalah hal yang penting bagi saya, kenangan masa kecil saya tidak pernah jauh dengan apa yang dinamakan buku. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh angan-angan saya yang saya rasa "cukup liar". Saat saya masih belia, saya selalu membayangkan bahwa di masa depan nanti saya bisa terbang layaknya tokoh pewayangan, berpetualang ke negeri kurcaci, atau bahkan menjadi raja dan menaklukkan kutukan Keris Mpu Gandring.

Namun seperti anak-anak pada umumnya sejak saya mengenal televisi, video games serta perangkat elektronik lainnya. Romantisme saya dengan buku semakin memudar. Hingga semenjak saya lulus bangku SMA saya resmi bercerai dengan buku. Walau beberapa kali masih bersinggungan dengan buku, namun intensitasnya amatlah minim. Gairah terhadap buku pun sirna. 

Namun demikian, buku nyatanya tetap menunggu. Walaupun dikhianati dia tetap menunggu Hernowo untuk kembali. Saya masih ingat malam itu dengan jelas. Saat itu Bowo pun sudah kehabisan akal. Bowo yang harusnya merupakan salesman handal pun saat itu kesulitan memahami tentang manusia.

"Aku tak tau lagi bagaimana menghadapi toko-toko itu" ujar Bowo sambil memekik keras

"Memangnya kenapa dengan toko itu?" ujarku dengan nada selembut mungkin

"Aku yakin telah menawarkan dan menjelaskan produk dengan baik dan benar, tapi mengapa jawaban tidak adalah hal yang aku dapat?”

Bowo pun meminta bantuanku untuk menyelesaikan persoalannya. Bagaimana mungkin aku tak mau membantunya? Mustahil aku menolak permintaan dari diriku sendiri bukan?

Aku pun menggunakan rumus yang selalu aku gunakan selama ini. 

"Masalah --> Alasan --> Solusi"

Aku pun mulai mencari referensi untuk menyelesaikan masalah Bowo, yaitu kesulitan dalam berhubungan dengan toko secara general. Dari dialog saya dengan Bowo, saya pun memahami bahwa kesulitan Bowo adalah sesuatu yang fundamental dan mendasar. Yaitu kesulitan berhubungan dan memahami manusia. Hal itu bukanlah masalah yang aneh, karena ilmu Bowo tentulah merupakan turunan dari ilmuku. Sedangkan jika kau bertanya apa keahlianku, berhubungan dan memahami manusia pastilah bukan salah satu darinya. Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan Bowo ke dunia ini, saya pun memiliki kewajiban untuk membantu masalahnya. 

Dari sinilah saya mencoba menjalin kembali romantisme saya dengan buku, dan buku yang akhirnya saya pilih dan dapat membantu masalah Bowo adalah “How To Win Friends And Influence People” karya Dale Carnegie.

Bila dibandingkan dengan teman saya yang saya kategorikan sebagai kutu buku, jumlah buku yang saya baca tentulah segelintir saja. Namun demikian, buku ini merupakan salah satu buku terbaik yang pernah saya baca hingga detik ini. Perlu teman-teman ketahui, bahwa selama ini saya masih mencari cara paling efisien untuk berhubungan dengan manusia. Karena saya selalu merasa bahwa hal tersebut adalah salah satu kelemahan mendasar saya. Untuk itulah saya memilih mempelajari teorinya lewat jurusan ilmu komunikasi dan oleh karena itu pula saya memilih pekerjaan sales yang memaksa saya untuk berhubungan dengan manusia setiap saat.

Buku ini mengajarkan saya bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang egois, di mana kita seringkali menghubungkan apapun yang kita lakukan dengan perasaan. Dalam melakukan segala sesuatunya, manusia dapat mudah kehilangan akal sehatnya jika sudah membawa apa yang dinamakan perasaan. Dalam bab satu buku tersebut Carniege menceritakan bahkan salah satu mafia tersadis Al Capone “berani” menjustifikasi segala tindak kriminalnya. Ketika dia berhasil dibekuk, yang terucap dari bibirnya bukanlah permintaan maaf maupun pengakuan dosa.

“Aku menghabiskan hari-hari terbaikku untuk memberikan orang lain rasa nyaman, membantu mereka mendapatkan kebahagiaan. Namun apa yang kudapat? Tuduhan palsu!? Status kriminal!?” Ujar Capone ketika berhasil ditangkap

Lebih lanjut Carniege juga menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah hal yang asing. Penjahat bengis lainnya seperti “Two Gun” Crowley salah satu buronan terkenal di New York, serta Dutch Schultz yang merupakan otak dari berbagai tindakan kriminal berujar bahwa mereka tidaklah salah. Mereka hanyalah korban dari kesalahpahaman dan tuduhan palsu.

Bukan hanya itu, menurut keterangan Lewis Lawes salah satu petugas yang sudah tiga puluh tahun mengabdi di Penjara Sing Song, Amerika. Beberapa narapidana di tempat tersebut sadar bahwa mereka adalah orang jahat. Namun demikian, mereka tetaplah orang biasa, di mana mereka membuat suatu alasan, baik alasan mengada-ada maupun alasan yang masuk akal sebagai suatu pembenaran atas perbuatan mereka.

Penjelasan dari Carniege tersebut membuka mata saya terkait sifat dasar manusia. Kalau para penjahat terkejam yang sudah jelas dosanya saja tidak mau disalahkan, bagaimana dengan kita? Dari cerita ini saya pun tersadar bahwa pada dasarnya manusia adalah makhkluk yang egois. Manusia tidak suka di-judge oleh orang lain. Entah yang orang lain itu katakan benar atau salah itu tidaklah penting, pada akhirnya kritikan dari orang lain justru akan membuat manusia menjadi bersikap defensive dan mencari pembenaran dari hal apapun yang ia lakukan.

***

Kulihat dari jauh Bowo pun terlihat membaca sambil sesekali mengangguk-angguk. Aku harap buku itu bisa membantu Bowo dalam menjalankan kegiatannya. Karena semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula ilmuku. :)




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.